Langsung ke konten utama

Sebuah Renungan

 


Kadang kita itu kayak ngerasa capek, lelah, jenuh gitu nggak sih sama kehidupan? Kayak misalnya udah jenuh aja burnout, tiap hari kerja terus, deadline numpuk tapi tetep hidupnya gitu-gitu aja. Tiap hari ngurusin rumah yang nggak ada selesainya sampai rasanya mulut sama badan sama capeknya karena kebanyakan ngomel. 


Bahkan mungkin ada yang pernah ngerasain kayak desperate alias hopeless banget gitu sama hidup. Kayak ngerasa nggak berguna aja buat diri sendiri apalagi orang sekitar. Nggak punya tujuan hidup yang bisa diperjuangin.


"Aku ngerasa udah nggak ada gunanya hidup udah capek banget rasanya mau mati aja lah, kayaknya enak mati biar kelar semua urusan, daripada hidup nggak berguna kek gini"


"Kenapa hidupku nggak pernah bahagia? Ada aja masalah. Belum kelar yang ini dateng yang lain. Capek banget hidup. Mending mati aja"


"Aku udah lama berobat tapi ngga ada progres yang signifikan. Aku nggak mampu nahan sakit kayak gini terus. Dah lah mati aja"


Bahaya bahaya bahaya! Kenapa bahaya? Karena sebenarnya mati itu bukan garis finish dari sebuah lomba lari dari kenyataan tapi awal mula kehidupan yang panjang dan berat. Kadang kita nggak asing sama narasi-narasi di atas kan? Menggampangkan kematian. Contoh lain misalnya, gegara udah stres banget kelilit hutang yang nggak berkesudahan, terpikirlah buat nabrakin diri ke kereta biar nggak stres lagi sama hutangnya. Qadarullah meninggal. Kelihatannya urusannya udah selesai kan?


Eits, jangan salah! 

Mati itu sendirian. Kain kafan tidaklah berkantong kawan. Keluarga, sahabat, kolega, mereka cuma mengantar sampai ke pintu liang lahat aja. Begitu liang kubur ditutup, mereka akan pergi. Tinggallah diri sendiri ngga ada yang nemenin menghadapi kehidupan abadi setelah mati. Pertanggungjawaban atas semua yang dilakukan waktu masih hidup.


Masih ingat nggak sih kita waktu SD pernah diajarin sama guru agama kalau nanti ketika sudah meninggal akan ada malaikat yang datang untuk bertanya? Ya, itu adalah malaikat Munkar dan Nakir yang hitam badannya lagi biru matanya yang membuat takut orang yang memandangnya. Mereka diutus untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang kelihatannya mudah tapi cuma orang-orang yang beriman, yang Allah berikan ketetapan hati aja yang mampu buat menjawab pertanyaan itu.


Kita pasti ketika masih hidup bisa menjawab fitnah kubur ini. Siapa Rabb-mu, siapa nabimu dan apa agamamu? Tapi apa kita yakin waktu kita mati nanti bakalan bisa jawab dengan mudah? Jadi, mumpung kita masih punya waktu, saatnya bersungguh-sungguh buat mengenal Allah, Rasulullah, dan agama islam. Kita nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan buat belajar ujian yang soalnya udah dibocorin kan!


Tipe nomor berapa?


Tipe pertama baunya wangi, tampangnya indah lagi bagus, dan pakaiannya indah. Sedangkan tipe kedua bau busuk menyengat, tampang buruk rupa, dan pakaian jelek lagi lusuh. Kalau disuruh milih, bakal milih tipe nomor berapa?


Tentunya kita bakal milih tipe yang pertama kan? Oke fix kalau gitu kita wajib dan fardhu 'ain buat sungguh-sungguh hidup di dunia yang sebentar ini. Mengecek kembali apa sih tujuan kita hidup? Allah sebagai pencipta kita udah mengabarkan dalam surat Adz Dzariyat ayat ke 56 dimana tujuan Allah menciptakan kita (dan juga jin) tuh buat beribadah kepada Allah. Kita ngga diciptain sia-sia kawan. Hidup bukan buat bersenang-senang sampai lalai dari tujuan utama, terus berharap mati masuk surga.


Buat orang yang beriman, Allah berikan nikmat berupa teman sesuai gambaran pertama setelah lolos dari fitnah kubur. Teman itu adalah wujud dari amal shaleh yang dikerjain sewaktu masih hidup di dunia  Nggak cuma itu, orang beriman dalam kuburnya juga Allah kasih alas dari surga, pakaian dari surga, dibukakan pintu surga sehingga dia diterpa angin surga dan mencium wanginya hingga diluaskan kuburnya sejauh mata memandang.


Kebalikannya buat mereka yang nggak beriman akan Allah beri azab kubur dimana dia bakal diberi alas dari neraka, pakaian dari neraka, dibuka pintu neraka sehingga diterpa angin panas dari neraka, disempitkan kuburnya hingga tulang rusuknya saling bersilangan ditambah ditemani dosa-dosanya berupa seorang yang buruk rupa, pakaian jelek, dan bau busuk menyengat. Ngeri banget kan? :( Wal-'iyadzubillah.


Ini cuma sedikit gambaran kehidupan setelah kematian. Masih panjang perjalanan yang harus dilalui seorang mayit untuk bertemu dengan Rabb-nya dan itu bukanlah perjalanan yang mudah. Kalau udah tau seperti ini, apa kita mau mulai perjalanan panjang tanpa bekal? 


***


Tulisan ini dibuat sebagai pengingat diri sendiri khususnya dan juga teman-teman yang membaca. Semoga Allah senantiasa kokohkan hati kita untuk terus beriman kepada-Nya, menjadikan hari-hari kehidupan di dunia sebagai bekal perjalanan panjang yang tidak mudah.


ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺁﺗِﻨَﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺣَﺴَﻨَﺔً ، ﻭَﻓِﻰ ﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﺣَﺴَﻨَﺔً ، ﻭَﻗِﻨَﺎ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

Allahumma Rabbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzaban naar

Ya Allah, Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.

(HR. Bukhari no. 2389 dan Muslim no. 2690).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penting Untuk Dibaca Buat yang Suka Overthinking

Kadang-kadang yang namanya manusia suka overthinking ya. Berlebihan mikir gitu lho. Gimana kalau gini terus gimana kalau gitu. Bisa jadi kalau yang single dan ingin menikah, kepikiran nanti bakalan nikah sama siapa. Terus bisa nggak ya pasangannya menerima kelebihan dan kekurangannya. Nanti kalau nggak bisa bakal gimana ya rumah tangganya? Kalau yang anak sekolahan atau kuliahan bisa jadi overthinkingnya tentang gimana kalo sekolahnya atau kuliahnya susah, nanti bakal lulusnya gimana, kerja dimana, terus bisa memenuhi keinginan orang tuanya atau nggak, dan sebagainya. Sebagai orang tua pun kadang overthinking. Misalnya aku sebagai seorang ibu kadang-kadang kepikiran gimana ya nanti kalau anakku sudah besar, apakah dia bisa menjaga dirinya sendiri di zaman seperti ini zaman yang penuh fitnah? Aku rasa aku nggak sendirian menjadi orang tua yang overthinking. Banyak ibu-ibu juga bapak-bapak yang berpikir yang sama denganku. Memiliki kekhawatiran tersendiri untuk buah hati mereka. Ya yang

Aku Ingin Menyerah, Tapi...

  Tiba-tiba air mata menetes membasahi pipi. Dada terasa nyeri dan sesak. Sudah berminggu-minggu, aku berada dalam kondisi yang tak menentu. Jantungku berdebar ketakutan tiap kali suara nafas yang semakin berat itu terdengar olehku. Memori buruk menyeruak menjadikanku berpikir berlebihan. Sore itu aku harus pergi meninggalkan zona nyamanku. Dengan persiapan yang seadanya, aku pergi dan berharap semua akan segera baik-baik saja sehingga aku segera kembali. Kukira kepergianku hanya sebentar. Namun, nyatanya Allah Subhanahu wa ta'ala  berkehendak lain. Aku mengeluh dan merasa berat. Aku mengadu pada Dia Yang Maha Kuasa. Mengapa aku harus ada di posisi seperti ini? Aku lelah Ya Allah. Aku merasa berat dan tidak ingin berada di posisi seperti ini. Aku merasa ingin menyerah. Berbagai skema "andai saja" muncul di kepalaku. Berangan-angan andai tidak begini dan begitu pasti aku tidak akan ada di masa sulit ini. Tapi ternyata semua itu percuma. Hai diriku! Percuma kamu berandai-an

Mencetak Generasi Terbaik Bersama Semen Baturaja

Yang namanya manusia tidak lepas dari keinginan. Bener nggak sih ? Namun ada yang sekedar ingin tetapi tidak memperjuangkan keinginannya. Di sisi lain ada yang berjuang untuk merealisasikan keinginan itu. Ya kalau kita bisa bilang keinginan yang diperjuangkan itu ada yang berwujud sebagai  impian maupun cita-cita. Hal Besar Dalam Hidup Teman-teman tentunya pernah melewati hal besar dalam hidup bukan? Tak jarang hal itu membuat kita menjadi berbenah dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bahkan impian-impian besar dapat terlahir dari kondisi yang menurut kebanyakan orang tidak ideal. Di tahun 2019 aku menikah dengan seorang lelaki yang sudah kukenal sejak lama karena kami satu SMA. Kebahagiaan terus menyelimuti hingga tahun berikutnya. Alhamdulillah bayi laki-laki mungil lahir dari rahimku setelah begitu banyak perjuangan dilakukan.  Sayangnya kami hanya bersama kurang dari 48 jam. Di usianya yang belum genap 2 hari, kami harus terpisah. Pagi itu tiba-tiba suamiku berteriak memanggil