Apakah bisa ketika 2 orang dengan latar belakang keluarga, kebiasaan, dan pola pikir yang berbeda tiba-tiba disatukan dalam sebuah rumah? Jawabannya pasti bisa. Lalu jika pertanyaan selanjutnya adalah apakah hal itu mudah? Maka jawabannya adalah tidak. Yup, tidak mudah untuk menyatukannya apalagi dalam sebuah rumah yang disebut dengan rumah tangga.
Setiap manusia memiliki sifat, karakter dan kepribadian yang berbeda-beda. Lingkungan, pola asuh, tingkat pendidikan, dan beberapa faktor lainnya dapat mempengaruhi pembentukan sifat, karakter, dan kepribadian seseorang. Dalam sebuah rumah tangga yang terdiri utamanya dari suami, istri, dan anak maka akan terjadi campur baur dari berbagai karakter tersebut.
Misalnya saja seorang istri yang cakcek bersanding dengan seorang suami yang sedikit malas. Ketika sang suami sedang menuang air ke gelas tiba-tiba air tersebut tumpah. Namun sang suami tidak bersegera mengambil lap untuk membersihkan tumpahan air tersebut sehingga tumpahan air semakin melebar. Sang istri pun segera mengambil lap dan membersihkannya sambil berkata dalam hati “Duh, gini aja harus aku yang bersihin”.
Lain cerita ketika seorang istri yang klemar klemer bersanding dengan suami yang cekatan. Ketika suami akan berangkat kerja sedangkan bekalnya belum selesai disiapkan oleh sang istri sehingga sang suami menyiapkannya sendiri dan kemudian berbicara dalam hati “Apa fungsinya nikah kalo aku nggak dilayani”.
Bayangkan saja jika perasaan-perasaan dongkol tersebut bersemayam di dalam hati bertahun-tahun lamanya. Suatu saat pun akan meluap seperti magma panas yang keluar dari gunung meletus.
Sebuah pernikahan diawali dengan dilakukannya akad nikah yakni suatu ikatan syar’i antara suami istri. Dengan terjadinya akad nikah maka telah terjadi perubahan hukum terkait keduanya. Dalam Al-qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan akad nikah sebagai perjanjian yang kuat atau ikatan yang kuat (Surat An-Nisa’ayat 21). Maka dari itu sebagai seorang suami ataupun istri harus mengingatnya dan menanamkannya dalam hati.
Menikah merupakan salah satu bagian dalam hidup dengan durasi yang lama. Bahkan bisa mencapai lebih dari separuh umur seseorang. Oleh karena itu hendaknya seseorang ketika menikah meniatkannya untuk beribadah kepada Sang Pencipta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bisa dibayangkan berapa banyak pahala yang akan dipanen kelak.
Eits, tapi ada satu yang perlu diingat karena yang namanya ibadah tidak akan mudah. Maka dari itu ganjarannya adalah surga dengan segala kenikmatan di dalamnya. Namun setan tidak diam begitu saja. Setan dengan gencarnya mencari teman untuk menemani mereka di neraka kelak. Jalan terjal menyambut dengan tangan terbuka. Namun mari diingat bahwa ada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pencipta manusia. Dialah Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Marilah meminta pertolongan pada-Nya agar diberi kemudahan untuk menjalankan ibadah seumur hidup ini.
Sebuah rumah tangga tidak pernah luput dari masalah karena di dalamnya ada seorang pemimpin dan anggotanya dengan sifat, karakter, dan kepribadian yang berbeda. Maka dibutuhkan adaptasi dari pemimpin dan anggotanya. Akan ada banyak hal baru yang ditemui yang berpotensi menimbulkan masalah. Menyesuaikan diri dengan hal-hal baru tersebut akan dapat menurunkan potensi konflik yang akan terjadi. Rasa jenuh bisa saja menghampiri. Oleh karena itu marilah kembali ke tujuan awal yakni menikah dengan niat untuk beribadah. Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kuasa-Nya akan memberikan bantuan bagi hamba-Nya yang meminta pada-Nya. Terus berpikir positif dan menghindarkan diri dari berpikir negatif.
Selanjutnya bagaimana cara beradaptasi? Lalu apakah itu mudah? Bila ada dua pasang suami istri dimana pasangan pertama meniatkan untuk beribadah sedangkan yang lainnya hanya sekedar menjalani pernikahan, mengapa tidak memilih untuk menjadi pasangan pertama. Keduanya sama-sama lelah menjalani rumah tangga. Namun yang satu memiliki nilai tambah karena niat ibadah dan juga akan dalam rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tentunya.
Lalu bagaimana cara beradaptasi dengan pasangan? Cara adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan menyamakan visi misi bersama dimana visi misi ini harus dibangun di atas sesuatu yang mulia yakni pernikahan adalah proses beribadah kepada Sang Pencipta. Maka dengan begitu Insya Allah akan mudah dalam menjalaninya karena setiap pasangan akan terus berusaha dan terus mencoba menurunkan ego dan menerima kelebihan dan kelemahan masing-masing. Memang hal ini tidaklah mudah. Manusia cenderung memiliki keengganan untuk meninggalkan zona nyaman alias tidak mudah untuk berubah. Tapi tidak ada salahnya karena berubah untuk menjadi lebih baik akan mendapat pahala bukan?
Konflik dalam rumah tangga adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Ketika terjadi suatu konflik maka suami dan istri akan bermuhasabah tatkala mereka memahami esensi pernikahan yang mereka jalani. Mengurangi benang kusut dan memutar kembali rekaman di dalam otak “apa sih tujuanku menikah? Memang suamiku (atau istriku) tidak sempurna begitupun denganku.” Sehingga pada akhirnya dapat saling memaafkan dan mengubah diri masing-masing menjadi lebih baik. Hubungan pun menjadi mesra dan romantis kembali. Bayangkan saja kalau konflik itu terus terjadi berkepanjangan. Hati akan lelah dan tentunya memiliki rumah tangga yang romantis lebih menentramkan dibanding saling dongkol antara suami istri.
Pasangan suami istri yang menikah dalam rangka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka akan dapat mengubah cara pandang dari contoh kisah di atas. Sang suami akan menjadi cekatan dan sigap untuk membantu sang istri karena ia tahu ia pun memiliki kelemahan dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Begitupun sebaliknya. Sang istri akan berusaha untuk melayani sang suami dengan baik. Keduanya melakukan ini semata-mata untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengharap pahala dariNya. Maka marilah mengingat kedua sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berikut
untuk suami:
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
untuk istri:
فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan Nerakamu.” (HR. Ahmad)
Islam adalah agama yang sempurna. Semuanya telah diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adem kan jadinya ^.^
Referensi:
https://almanhaj.or.id/2080-ketaatan-isteri-kepada-suaminya.html
Komentar
Posting Komentar