Langsung ke konten utama

Ada yang Bilang Aku Ngga Punya Value


Kalau kamu sedang berada di luar rumah, misalnya sedang mengantri di sebuah rumah sakit, lalu diajak ngobrol oleh orang yang berada di sebelah rasanya bagaimana? Biasa aja kan ya? Sama akupun begitu. Tapi berbeda dengan pengalamanku yang unik ini, hehe. Hal itu jadi ngga biasa karena ada slentingannya.

Begini ceritanya. Qadarullah saat itu Utsman sakit dan kami pergi untuk memeriksakan kondisinya kepada salah seorang dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit. Setelah melakukan pemeriksaan, Utsman diminta untuk cek darah di laboratorium rumah sakit tersebut oleh beliau sebagai pemeriksaan penunjang.

Sambil menunggu panggilan untuk pengambilan darah, ada seorang ibu yang usianya kurang lebih 50-60 tahunan yang duduk di samping saya. Beliau sedang mengantar cucunya untuk periksa ke dokter spesialis anak.

Awalnya kami tidak berbincang karena fokus pada kegiatan masing-masing. Saya memangku utsman sambil men-sounding tentang proses ambil darah yang akan ia jalani dan ibu tersebut menenangkan cucunya. 

Tak lama kemudian kami berbincang-bincang hingga akhirnya beliau bertanya kepadaku.

👄  "Mba, dulu kuliah dimana?"
👌"Saya dulu S1 farmasi U* kemudian lanjut  Apoteker di I*B bu."
👄  "Wahhh. Trus ini kerja dimana mba?"
👌"Dulu saya kerja di Malang dan Jakarta bu, sekarang saya di rumah."
👄"Wah di rumah mba? Sayang ya mba ijazahnya. Padahal sekolahnya sudah apoteker. Anak saya lulusan U*P*D sekarang kerja di bank mba."
👌"Iya bu, alhamdulillah ada usaha kecil-kecilan bikin sabun. Wah masya Allah iya bu. Di bank mana?"
👄 "Ohh bikin sabun mba. Iya ini anak saya di bank B*A. Alhamdulillah udah enak juga sekarang posisinya. Ini aja lagi ada meeting, mangkanya ngga bisa antar anaknya ke dokter jadi sama saya."

Stigma "wah sayang ya ijazahnya" tidak kuterima satu dua kali, hehe. Sudah berulang kali bahkan rasanya dari telinga yang dingin jadi panas sampai jadi dingin lagi hehe. Ngga sedikit yang beranggapan kalo kerjanya ngga dari kantor itu kayak gimana gitu ngga mentereng apalagi melihat background pendidikan yang aku ambil.

Bahkan suatu waktu ada yang menurutku lebih parah dengan berkomentar bahwa kalo dengan latar belakangku ini harusnya aku sudah kerja jadi PNS atau BUMN karena kalau kerja dari rumah serasa percuma.

Awalnya ya agak sebal sih, sedih ngerasa seperti hmmm gimana ya tapi yasudahlah. Ini sudah bagian dari sebuah pilihan. Apapun pilihan yang kita ambil dalam hidup selalu ada plus dan minusnya kan? Juga ada pro dan kontranya, jadi ya coba menerima setiap fase dalam hidup dengan kepala dingin.

Awal sekali aku mengambil keputusan besar ini, banyak yang mencibir. Katanya "ngapain di rumah, enak kerja nanti bisa bantu-bantu ekonomi." Ada juga yang komentar "duh sayang banget lho, gapapa kerja aja nanti masalah anak kan bisa dirundingkan lagi." 

Bahkan menurutku ada yang lebih makjleb lagi dengan berkata "kalau kamu ngga kerja kamu ngga berharga jadi wanita." Doenggggg! :" dan tentu masih banyak perkataan unik lainnya, hehe.

Hmmm awalnya memang baper tapi alhamdulillah pada akhirnya terus berusaha menguatkan diri sendiri dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa ta'ala saja.

 


Speaking of "wah sayang ya ijazahnya" adalah sebuah hal yang biasa diucapkan apabila lawan bicara tidak sesuai ekspektasi kebanyakan orang. Bagaimana kalau menurutmu? Dari pandanganku, menurutku hal itu kurang bijak untuk disampaikan. Karena setiap orang berhak untuk memiliki value mereka masing-masing. Terlepas bagaimana latar belakang mereka.

Ketika nilai yang kamu pegang tidak sama dengan yang aku pegang, bukan berarti kamu tidak bernilai di mataku dan aku tidak bernilai di matamu. Namun karena apa yang kita pegang dan kita kejar juga berbeda. Jadi menurutku tidak bijak ketika kita menstandardisasi orang lain dengan pakem kita sendiri. Kecuali pakem itu berasal dari Al-qur'an dan sunnah ya karena itu lain ceritanya.

Misalnya si A punya gelas ukuran 500 ml dan si B punya gelas ukuran 200 ml. Menurut kita apakah standard gelas penuh si A dan si B sama? Tentu berbeda kan. Misalnya si A akan beranggapan gelas penuh kalau isinya sudah 450 ml dan si B 275 ml. Si A tidak akan memiliki standard yang sama dengan Si B begitu juga sebaliknya. Apa yang terjadi jika dipaksakan? Akan meluber atau akan terasa selalu kurang.

Setiap orang berjuang menggapai value mereka masing-masing. Jadilah kita sebagai orang yang bijak. Tidak menilai seseorang hanya dari satu sisi saja karena bisa jadi value yang kita pegang berbeda dengan mereka. Lebih baik kita saling mendukung satu sama lain sehingga ketika mereka sukses menggapai value-nya, kita pun merasa bahagia karena telah mendukungnya menggapai kesuksesannya. ^^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penting Untuk Dibaca Buat yang Suka Overthinking

Kadang-kadang yang namanya manusia suka overthinking ya. Berlebihan mikir gitu lho. Gimana kalau gini terus gimana kalau gitu. Bisa jadi kalau yang single dan ingin menikah, kepikiran nanti bakalan nikah sama siapa. Terus bisa nggak ya pasangannya menerima kelebihan dan kekurangannya. Nanti kalau nggak bisa bakal gimana ya rumah tangganya? Kalau yang anak sekolahan atau kuliahan bisa jadi overthinkingnya tentang gimana kalo sekolahnya atau kuliahnya susah, nanti bakal lulusnya gimana, kerja dimana, terus bisa memenuhi keinginan orang tuanya atau nggak, dan sebagainya. Sebagai orang tua pun kadang overthinking. Misalnya aku sebagai seorang ibu kadang-kadang kepikiran gimana ya nanti kalau anakku sudah besar, apakah dia bisa menjaga dirinya sendiri di zaman seperti ini zaman yang penuh fitnah? Aku rasa aku nggak sendirian menjadi orang tua yang overthinking. Banyak ibu-ibu juga bapak-bapak yang berpikir yang sama denganku. Memiliki kekhawatiran tersendiri untuk buah hati mereka. Ya yang

Aku Ingin Menyerah, Tapi...

  Tiba-tiba air mata menetes membasahi pipi. Dada terasa nyeri dan sesak. Sudah berminggu-minggu, aku berada dalam kondisi yang tak menentu. Jantungku berdebar ketakutan tiap kali suara nafas yang semakin berat itu terdengar olehku. Memori buruk menyeruak menjadikanku berpikir berlebihan. Sore itu aku harus pergi meninggalkan zona nyamanku. Dengan persiapan yang seadanya, aku pergi dan berharap semua akan segera baik-baik saja sehingga aku segera kembali. Kukira kepergianku hanya sebentar. Namun, nyatanya Allah Subhanahu wa ta'ala  berkehendak lain. Aku mengeluh dan merasa berat. Aku mengadu pada Dia Yang Maha Kuasa. Mengapa aku harus ada di posisi seperti ini? Aku lelah Ya Allah. Aku merasa berat dan tidak ingin berada di posisi seperti ini. Aku merasa ingin menyerah. Berbagai skema "andai saja" muncul di kepalaku. Berangan-angan andai tidak begini dan begitu pasti aku tidak akan ada di masa sulit ini. Tapi ternyata semua itu percuma. Hai diriku! Percuma kamu berandai-an

Mencetak Generasi Terbaik Bersama Semen Baturaja

Yang namanya manusia tidak lepas dari keinginan. Bener nggak sih ? Namun ada yang sekedar ingin tetapi tidak memperjuangkan keinginannya. Di sisi lain ada yang berjuang untuk merealisasikan keinginan itu. Ya kalau kita bisa bilang keinginan yang diperjuangkan itu ada yang berwujud sebagai  impian maupun cita-cita. Hal Besar Dalam Hidup Teman-teman tentunya pernah melewati hal besar dalam hidup bukan? Tak jarang hal itu membuat kita menjadi berbenah dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bahkan impian-impian besar dapat terlahir dari kondisi yang menurut kebanyakan orang tidak ideal. Di tahun 2019 aku menikah dengan seorang lelaki yang sudah kukenal sejak lama karena kami satu SMA. Kebahagiaan terus menyelimuti hingga tahun berikutnya. Alhamdulillah bayi laki-laki mungil lahir dari rahimku setelah begitu banyak perjuangan dilakukan.  Sayangnya kami hanya bersama kurang dari 48 jam. Di usianya yang belum genap 2 hari, kami harus terpisah. Pagi itu tiba-tiba suamiku berteriak memanggil